Sunday, March 27, 2016

Lagi lagi gara-gara Ahok!!

Akhirnya saya harus update blog yang sudah berbulan-bulan saya tinggalkan. Ada perasaan menggelitik yang membuat saya ga jadi tidur. Dan itu gara-gara Ahok (literally),  and my first Bahasa article.

Cerita berawal dari niat (dan akhirnya dilaksanakan) untuk ikut memberikan dukungan ke Ahok, seorang pemimpin birokrat alias Gubernur DKI Jakarta saat ini, yang digadang-gadang akan maju lagi untuk pemilihan berikutnya. Alhasil, KTP saya akhirnya buat Ahok.

Isengnya lagi istri saya posting deh di Facebook biar afdhol (eh kayak ibadah aja). Dan barulah semua momen datang berupa like dan balas-balasan komen di Facebook, sampai akhirnya whatsapp dari orang-orang terdekat. Yang isinya kurang lebih saya sudah mulai jauh dari Aqidah dan Al-quran dan Hadits, menurut mereka.

Sedikit latar belakang saya, saya hanya seorang pegawai swasta biasa, yang dididik oleh orang tua saya dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat, serta agama yang kuat. Maklum, opung (panggilan kakek di Sumut) dan inyiak (panggilan kakek di Sumbar) saya adalah orang-orang terpandang dari sisi agama, yaitu agama Islam). Dan sayangnya, cucunya ini tidak sepintar mereka, bahkan sarjana pun belum lulus.

Balik lagi ke topik pembahasan kita, yaitu gara-gara Ahok saya ga bisa tidur, dan akhirnya menulis di blog yang saya tinggal berbulan-bulan, dan yang jelas ga ada isi menariknya. Maklum profesi saya bukan penulis seperti mas Tere Liye atau om Jonru yang luar biasa itu.

Setelah dibombardir komen dari Facebook tersebut, saya panik, bercampur sedih dan sedikit shock. Karena saya sudah di"cap" (mungkin ya) mengarah kepada kekafiran. "waduh, bisa repot nih" pikirku. "Apa benar saya sudah jauh melenceng dari aqidah saya ya?"pikirku lagi.

Saya cerita dikit lagi ya latar belakang saya (ga papa kan? Biar panjang aja artikel di blognya, hehe). Jadi, saya dulu menempuh pendidikan agama setelah saya SD, yaitu di MTsN di kampung halaman saya. Dari semua ilmu yang saya dapat, saya sangat menanamkan ke diri saya bahwa Islam adalah agama yang fleksibel. Dan saya imani itu, termasuk Al-Quran adalah kitab yang tak lekang oleh waktu. Segala permasalahan kehidupan sudah ada di dalamnya, hanya tinggal kita bisa menarik inti dari ayat-ayat Al-Quran secara benar atau tidak. Dan ini sangat luar biasa, karena sampai sekarang pun masih tetap dipelajari, untuk memahami ayat-ayat tersebut secara benar.

Nah, setelah ketakutan akan dicap kafir bahkan oleh orang-orang terdekat, bahkan telontarlah satu ayat yang menyanggah dukungan terhadap Ahok tersebut, maka saya bertanya-tanya dan melakukan riset kecil tentang ayat tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Al-Maidah ayat 51. Tentu saja saya tidak akan bahas detail tentang ayat tersebut disini. Mohon maaf sekali jika anda berharap saya akan bahas tentang Asbabun Nuzul atau pun etimologi "Auliya'" (Wali) dll. Tapi saya akan lampirkan tautan yang dapat Anda baca langsung.

Berikut tautannya :

Dan
http://seekershub.org/ans-blog/2009/09/07/friendship-with-non-muslims-explaining-verse-551/ yang dijawab oleh Abdullah Mizra dan dicek & disetujui oleh Faraz Rabbani.

Dan yang paling menarik dari kedua tulisan tersebut menurut saya adalah, adanya perbedaan pemahaman tentang etimologi "Auliya" dari berbagai macam versi terjemahan. Kemudian, tentang sebab turunnya ayat, serta konteks dari ayat tersebut, yang sangat mudah disanggah dan kontradiktif terhadap surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9. Dan terakhir adalah akhir tulisan oleh Syeikh Imran N Husein mengenai "Shark and Sardines (Hiu dan Sarden)",

Sehingga saya menarik beberapa kesimpulan yaitu :

Pertama, kata "Auliya" yang diterjemahkan kebahasa indonesia sebagai wali/pemimpin mempunyai makna yang sangat spesifik namun diterjemahkan juga secara luas pada bahasa lain sebagai :"teman". Yang menurut saya kurang tepat sehingga menggiring kepada opini bahwa kita dilarang untuk berteman dengan orang-orang dari agama Yahudi dan Nasrani.

Kedua, mengenai konteks, dimana berdasarkan sebab turunnya ayat, surat Al-Maidah ayat 51 ini juga mempunyai konteks terbatas, yang mana menurut saya juga kurang tepat untuk menjeneralisasi larangan berteman/mempunyai wali dari kaum Yahudi dan Nasrani. 

Terutama setelah saya pahami lagi surat Al-Mumtahanah ayat 8-9 tersebut, yang mana sangat spesifik dijelaskan bahwa Allah SWT tidak melarang umat Islam untuk berteman (showing kindness and dealing justly), dengan kaum Yahudi dan Nasrani jika :  kaum tersebut tidak memerangi umat Islam, dan mengusir umat Islam dari tanah halamannya.

And this is the best part (londo dikit ye) : kita balik ke Ahok, pertanyaannya :
- Apakah Ahok (mewakili kaum Nasrani) sedang memerangi umat Islam? Menurut hemat saya, tidak! Dan malah memberikan perkembangan dan kinerja yang baik buat saya yang Islam ini.
- Apakah Ahok mengusir saya dari tanah saya? : bisa ya bisa tidak. Tidak bagi saya, dan iya bagi orang Islam yang mengembangkan praktik prostitusi dan hiburan di Kali Jodo (itu juga gara numpang seenak udelnya juga kali ya?), anyway sarkastik dikit boleh lah ya.

Dan yang terakhir ga kalah menarik juga, yaitu tulisan Syeikh Imran tentang Hiu dan Sarden, kalau anda baca, mungkin anda akan sependapat dengan saya. Dimana kita harus tahu, apakah sosok seorang Muslim berada di posisi Hiu atau Sarden, dimana sang Hiu menggunakan kekuatan Agama untuk memakan sarden-sarden seperti saya yang bodoh ini.

Oke, kita sampai pada kesimpulan, dimana menurut saya, dan saya gunakan untuk memberanikan diri saya untuk memberi dukungan berupa KTP kepada seorang Ahok daripada menakut-nakuti diri saya bahwa saya sudah mendekati kekafiran yaitu : kita tidak sedang berperang dan Ahok tidak memerangi saya, justru membuat perubahan yang saya rasa sangat berarti untuk rakyat di DKI Jakarta. Saya korelasikan lagi dengan prinsip saya dimana Islam adalah agama yang fleksibel, sehingga apa yang saya lakukan untuk memberikan dukungan pada Ahok tidaklah menjurus kepada kekafiran. (mendingan saya state sendiri biar puas, terserah yang lain mau cap saya apa)

Sedikit contoh untuk direnungkan :
Apakah kaum Muslim yang minoritas di US atau Eropa, yang selalu dihadapkan dengan pilihan calon non-Muslim semuanya akan dicap mendekati kekafiran jika memilih orang-orang yang mereka anggap akan memajukan negara yang ditinggalinya?
Dan jika calon yang dimaksud seperti Donald Trump yang ingin melarang kamu Muslim untuk migrasi ke US dan membelenggu hak-hak muslim, maka saya setuju dengan Anda, memilih Donald Trump adalah sikap yang mendekati kekafiran.

Last but not least, saya mohon maaf jika ada yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Dan terimakasih sudah membaca blog sederhana ini.


Salam,

Sakti Halomoan S





No comments:

Post a Comment