Akhirnya saya harus update blog yang sudah
berbulan-bulan saya tinggalkan. Ada perasaan menggelitik yang membuat saya ga
jadi tidur. Dan itu gara-gara Ahok (literally), and my first Bahasa article.
Cerita berawal dari niat (dan akhirnya
dilaksanakan) untuk ikut memberikan dukungan ke Ahok, seorang pemimpin birokrat
alias Gubernur DKI Jakarta saat ini, yang digadang-gadang akan maju lagi untuk
pemilihan berikutnya. Alhasil, KTP saya akhirnya buat Ahok.
Isengnya lagi istri saya posting deh di Facebook biar afdhol (eh kayak ibadah aja). Dan barulah semua momen datang
berupa like dan balas-balasan komen di Facebook, sampai akhirnya whatsapp dari
orang-orang terdekat. Yang isinya kurang lebih saya sudah mulai jauh dari Aqidah dan Al-quran dan Hadits, menurut mereka.
Sedikit latar belakang saya, saya hanya
seorang pegawai swasta biasa, yang dididik oleh orang tua saya dengan prinsip
demokrasi dan kebebasan berpendapat, serta agama yang kuat. Maklum, opung
(panggilan kakek di Sumut) dan inyiak (panggilan kakek di Sumbar) saya adalah
orang-orang terpandang dari sisi agama, yaitu agama Islam). Dan sayangnya,
cucunya ini tidak sepintar mereka, bahkan sarjana pun belum lulus.
Balik lagi ke topik pembahasan kita, yaitu
gara-gara Ahok saya ga bisa tidur, dan akhirnya menulis di blog yang saya
tinggal berbulan-bulan, dan yang jelas ga ada isi menariknya. Maklum profesi saya
bukan penulis seperti mas Tere Liye atau om Jonru yang luar biasa itu.
Setelah dibombardir komen dari Facebook
tersebut, saya panik, bercampur sedih dan sedikit shock. Karena saya sudah
di"cap" (mungkin ya) mengarah kepada kekafiran. "waduh, bisa
repot nih" pikirku. "Apa benar saya sudah jauh melenceng dari aqidah saya
ya?"pikirku lagi.
Saya cerita dikit lagi ya latar belakang
saya (ga papa kan? Biar panjang aja artikel di blognya, hehe). Jadi, saya dulu
menempuh pendidikan agama setelah saya SD, yaitu di MTsN di kampung halaman saya.
Dari semua ilmu yang saya dapat, saya sangat menanamkan ke diri saya bahwa Islam adalah agama yang fleksibel. Dan saya imani itu, termasuk Al-Quran adalah
kitab yang tak lekang oleh waktu. Segala permasalahan kehidupan sudah ada di
dalamnya, hanya tinggal kita bisa menarik inti dari ayat-ayat Al-Quran secara
benar atau tidak. Dan ini sangat luar biasa, karena sampai sekarang pun masih
tetap dipelajari, untuk memahami ayat-ayat tersebut secara benar.
Nah, setelah ketakutan akan dicap kafir
bahkan oleh orang-orang terdekat, bahkan telontarlah satu ayat yang menyanggah
dukungan terhadap Ahok tersebut, maka saya bertanya-tanya dan melakukan riset kecil
tentang ayat tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Al-Maidah ayat 51. Tentu saja
saya tidak akan bahas detail tentang ayat tersebut disini. Mohon maaf sekali
jika anda berharap saya akan bahas tentang Asbabun Nuzul atau pun etimologi "Auliya'" (Wali) dll. Tapi saya akan lampirkan tautan yang dapat Anda baca
langsung.
Berikut tautannya :
http://www.imranhosein.org/articles/understanding-islam/73-neither-friends-nor-allies.html
oleh Syeikh Imran N Husein
Dan
http://seekershub.org/ans-blog/2009/09/07/friendship-with-non-muslims-explaining-verse-551/
yang dijawab oleh Abdullah Mizra dan dicek & disetujui oleh Faraz Rabbani.
Dan yang paling menarik dari kedua tulisan
tersebut menurut saya adalah, adanya perbedaan pemahaman tentang etimologi
"Auliya" dari berbagai macam versi terjemahan. Kemudian, tentang
sebab turunnya ayat, serta konteks dari ayat tersebut, yang sangat mudah disanggah
dan kontradiktif terhadap surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9. Dan terakhir adalah
akhir tulisan oleh Syeikh Imran N Husein mengenai "Shark and Sardines (Hiu
dan Sarden)",
Sehingga saya menarik beberapa kesimpulan
yaitu :
Pertama, kata "Auliya" yang
diterjemahkan kebahasa indonesia sebagai wali/pemimpin mempunyai makna yang
sangat spesifik namun diterjemahkan juga secara luas pada bahasa lain sebagai
:"teman". Yang menurut saya kurang tepat sehingga menggiring kepada
opini bahwa kita dilarang untuk berteman dengan orang-orang dari agama Yahudi
dan Nasrani.
Kedua, mengenai konteks, dimana
berdasarkan sebab turunnya ayat, surat Al-Maidah ayat 51 ini juga mempunyai
konteks terbatas, yang mana menurut saya juga kurang tepat untuk
menjeneralisasi larangan berteman/mempunyai wali dari kaum Yahudi dan Nasrani.
Terutama setelah saya pahami lagi surat Al-Mumtahanah ayat 8-9 tersebut, yang mana sangat spesifik dijelaskan bahwa
Allah SWT tidak melarang umat Islam untuk berteman (showing kindness and dealing justly), dengan kaum Yahudi dan Nasrani jika : kaum tersebut tidak memerangi umat Islam, dan
mengusir umat Islam dari tanah halamannya.
And this is the best part (londo dikit ye)
: kita balik ke Ahok, pertanyaannya :
- Apakah Ahok (mewakili kaum Nasrani)
sedang memerangi umat Islam? Menurut hemat saya, tidak! Dan malah memberikan
perkembangan dan kinerja yang baik buat saya yang Islam ini.
- Apakah Ahok mengusir saya dari tanah
saya? : bisa ya bisa tidak. Tidak bagi saya, dan iya bagi orang Islam yang
mengembangkan praktik prostitusi dan hiburan di Kali Jodo (itu juga gara
numpang seenak udelnya juga kali ya?), anyway sarkastik dikit boleh lah ya.
Dan yang terakhir ga kalah menarik juga,
yaitu tulisan Syeikh Imran tentang Hiu dan Sarden, kalau anda baca, mungkin
anda akan sependapat dengan saya. Dimana kita harus tahu, apakah sosok seorang Muslim berada di posisi Hiu atau Sarden, dimana sang Hiu menggunakan kekuatan Agama untuk memakan sarden-sarden seperti saya yang bodoh ini.
Oke, kita sampai pada kesimpulan, dimana
menurut saya, dan saya gunakan untuk memberanikan diri saya untuk memberi
dukungan berupa KTP kepada seorang Ahok daripada menakut-nakuti diri saya bahwa
saya sudah mendekati kekafiran yaitu : kita tidak sedang berperang dan Ahok
tidak memerangi saya, justru membuat perubahan yang saya rasa sangat berarti
untuk rakyat di DKI Jakarta. Saya korelasikan lagi dengan prinsip saya dimana Islam adalah agama yang fleksibel, sehingga apa yang saya lakukan untuk memberikan
dukungan pada Ahok tidaklah menjurus kepada kekafiran. (mendingan saya state sendiri biar puas, terserah yang lain mau cap saya apa)
Sedikit contoh untuk direnungkan :
Apakah kaum Muslim yang minoritas di US atau Eropa, yang selalu dihadapkan dengan pilihan calon non-Muslim semuanya akan
dicap mendekati kekafiran jika memilih orang-orang yang mereka anggap akan
memajukan negara yang ditinggalinya?
Dan jika calon yang dimaksud seperti Donald Trump yang ingin melarang kamu Muslim untuk migrasi ke US dan
membelenggu hak-hak muslim, maka saya setuju dengan Anda, memilih Donald Trump
adalah sikap yang mendekati kekafiran.
Last but not least, saya mohon maaf jika
ada yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Dan terimakasih sudah membaca
blog sederhana ini.
Salam,
Sakti Halomoan S
No comments:
Post a Comment